Home KajianPerkara-perkara yang Tidak Membatalkan Wudhu

Perkara-perkara yang Tidak Membatalkan Wudhu

Kaum muslimin dahulu selalu menyentuh istri-istri mereka, dan tidak didapati penukilan dari Rasulullah bahwa beliau pernah memerintahkan kaum muslimin berwudhu karena menyentuh istri mereka.

by Abu Umar
0 comments 300 views

Para ulama masih berbeda pendapat mengenai perkara-perkara ini, apakah membatalkan wudhu atau tidak, namun hal ini ternyata tidak membatalkan wudhu, di antaranya:

1. Seorang laki-laki menyentuh istrinya tanpa ada penghalang.

Mengenai permasalahan ini terdapat tiga pendapat ulama:

a. Seorang laki-laki yang menyentuh istrinya, maka wudhunya batal secara mutlak. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm pun mendukungnya. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar

b. Menyentuhnya sama sekali tidak membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Ibnu Abbas, Thawus, Al-Hasan, dan Atha’. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, dan ini pendapat yang kuat.

C. Menyentuh perempuan membatalkan wudhu jika disertai dengan syahwat. Ini adalah pendapat Malik, dan Ahmad di dalam riwayat yang masyhur darinya.

BACA JUGA: Kondisi-kondisi Tidur yang Membatalkan dan Tidak Membatalkan Wudhu

Saya katakan, dalil yang digunakan sebagai landasan hukum batalnya wudhu seseorang karena menyentuh istrinya di antaranya, firman Allah

…. أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا ….

“….atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…” (QS. Al-Maidah [5]: 6). Dan riwayat shahih yang bersumber dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar menyebutkan, “Bahwa menyentuh perempuan di sini maksudnya selain jima. “29%

Namun, kedua pendapat di atas dibantah oleh Habr Al-Umah, Ibnu Abbas, sebab menurutnya kalimat Al-Mass, Al-Lamsu dan Al-Mubasyarah bermakna jima’. Namun, Allah yang lebih kuasa dalam menyebut sesuatu dengan suatu yang dikehendaki-Nya. “297 Tidak diragukan lagi, bahwa tafsirnya lebih didahulukan dari tafsir lainnya. Kemudian di dalam ayat ini sendiri terdapat dalil yang menjelaskannya. Allah berfirman:

يَتَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا ….

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah…” (QS. Al-Maidah [5]: 6). Maksudnya adalah bersuci dengan air dari hadats kecil. Kemudian dalam firman-Nya:

… وَإِن كُنتُمْ جُنَّبًا فَاطَّهَّرُوا ….

“…Dan jika kamu junub maka mandilah…” Maksudnya adalah bersuci dengan air dari hadats besar. Firman Allah:

banner

… وإن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَابِطِ أَوْ لَمَسْتُمُ

النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا … .

“…Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah…”Firman-Nya:

….. فَتَيْتُمُوا ….

“…Maka bertayamumlah….” yaitu tayamum sebagai pengganti dua bersuci tersebut. Kemudian firman-Nya:

…. أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنكُم مِّنَ الْغَابِط … .

“…Atau kembali dari tempat buang air….” menjelaskan tentang sebab hadats kecil. Sedangkan firman-Nya:

… أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ ….

“…Atau menyentuh perempuan….” Menjelaskan tentang sebab hadats besar

Perlu diketahui bahwa penakwilan yang dilakukan Imam Asy-Syafi’i mengenai makna Al-Mass pada ayat tersebut bukanlah suatu kepastian darinya. Namun, nampak jelas dari pernyataan tersebut menunjukkan sikap kehati-hatian.

Di dalam Al-Umm (1/12) setelah menyebutkan ayat di atas ia berpendapat, “Ada kesamaan di dalam diwajibkannya wudhu karena buang air besar dan diwajibkannya wudhu karena menyentuh wanita. Penyebutan itu disambung dengan buang air besar setelah penyebutan janabah. Maka, kesamaannya adalah menyentuh menggunakan tangan, adapun mencium bukan janabah.”

Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ibnu Abdil Barr as yang menukil pernyataan Asy-Syafi’i, “Jika hadits Ma’bad bin Nabatah, shahih, mengenai mencium, maka aku tidak melihat adanya kewajiban wudhu disebabkan mencium atau menyentuh wanita.” Al-Hafizh pun juga menukil hal yang sama dalam At-Talkhis (44).

Saya katakan, di antara dalil-dalil yang menguatkan bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu, adalah sebagai berikut:

a. Hadits dari Aisyah, ia menuturkan, “Pada suatu malam aku tidak mendapati Rasulullah berada di tempat tidurnya. Kemudian aku mencarinya, ternyata tanganku mengenai bagian bawah kedua telapak kaki beliau. Ternyata beliau berada di masjid, dan kedua telapak kaki beliau tegak berdiri sambil mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَتِكَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan ridha-Mu dari murka-Mu.”

b. Diriwayatkan dari Aisyah, ia menuturkan, “Suatu ketika aku tidur di depan Rasulullah dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Jika bersujud, beliau menyentuh kakiku dan aku pun melipat kedua kakiku. Jika beliau bangkit, aku menjulurkannya lagi.” Kemudian Aisyah melanjutkan penuturannya, “Ketika itu rumah-rumah belum memiliki lampu. ” Dalam lafal lain disebutkan, “Sampai ketika hendak witir, beliau menyentuhku dengan kakinya.”

BACA JUGA: Sunnah-sunnah Wudhu

c. Kaum muslimin dahulu selalu menyentuh istri-istri mereka, dan tidak didapati penukilan dari Rasulullah bahwa beliau pernah memerintahkan kaum muslimin berwudhu karena menyentuh istri mereka. Begitu juga tidak didapati para shahabat semasa hidupnya berwudhu karena menyentuh istrinya. Tidak pula dinukil dari Nabi yang memerintahkan berwudhu karena menyentuh istrinya. Bahkan, telah dinukil dari beliau dalam kitab-kitab Sunan, “Beliau mencium sebagian istrinya dan tidak berwudhu.” Para ulama masih memperselisihkan hadits ini. Namun, tidak ada perselisihan mengenai tidak ada riwayat yang menyebutkan, beliau berwudhu karena menyentuh wanita. Adapun pendapat yang mengatakan batalnya wudhu karena menyentuh dengan syahwat dan tidak membatalkan jika tidak dengan syahwat, ini tidak ada dalilnya. Namun dikatakan, jika berwudhu karena menyentuh dengan syahwat bukan jima’- maka hal tersebut baik untuk memadamkan syahwat. Seperti halnya disunnahkan berwudhu ketika sedang marah untuk meredakannya. Adapun menilainya sebagai kewajiban, sama sekali tidak benar. Wallahu a’lam. []

Sumber: Shahih Fiqhu As-Sunnah (Shahih Fiqih Sunnah (Jilid 1)/ Penulis: Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim / Penerbit: Insan Kamil / Cetakan: Cet. 1: Nopember 2021 / Rabiul Akhir 1443 H

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: https://chat.whatsapp.com/CmhxXFTpO6t98yYERJBNTB
Instagram: https://www.instagram.com/humayro_media/
YouTube: https://www.youtube.com/@humayromedia
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61572918724311

Ikuti kami di Facebook Humayro. Satu tempat untuk pembelajaran tiada henti. Pembelajaran setiap hari. Pembelajaran sepanjang hayat.

Subscribe

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

Humayro.com – Belajar Sepanjang Hayat.  Kantor : Jalan Taman Pahlawan Gg. Ikhlas No. 2 RT18/RW 08 Purwakarta 41119