إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ )
“Sungguh, manusia berada dalam kerugian.” (QS. Al-Ashr: 2)
Penjelasan Ayat
Pada ayat ini, Allah menekankan bahwa manusia dalam kerugian. Hal ini dapat dilihat dari tiga bentuk penekanan yang terdapat pada ayat ini.
Pertama. Allah bersumpah dengan والعصر (demi masa) pada ayat sebelumnya. Allah selalu bersumpah dengan sesuatu untuk menekankan makna tertentu.
Kedua, Allah menggunakan huruf yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai alat taukid untuk menekankan sesuatu yang artinya “sesungguhnya.” Taukid adalah penegasan atau pengulangan kata dalam bahasa Arab yang bertujuan untuk menguatkan maksud suatu kejadian. Taukid juga berfungsi untuk menghilangkan keraguan atau prasangka dari pendengar.
Ketiga, Allah menggunakan pada lafal لفى yang dalam bahasa Arab juga berfungsi sebagai alat taukid juga untuk menekankan sesuatu.
Dalam ayat ini, Allah tidak membawakannya dengan kalimat إِنَّ الْإِنْسَانَ الخَاسِر yang bermakna “Sesungguhnya manusia merugi”, tetapi dengan kalimat إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ dengan tambahan dzharaf في sehingga maknanya men-jadi “Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian”. Makna kalimat yang kedua lebih mengena daripada kalimat pertama Allah seakan-akan ingin menunjukkan bahwa manusia tenggelam dalam banyak kerugian. Seandai nya kerugian diibaratkan dengan lautan, manusia sedang tenggelam daları lautan kerugian tersebut. Artinya, la diliputi kerugian dari mana pun.
BACA JUGA: Tafsir Surah Al-Ashr (1)
Dalam ayat ini pula. Allah menggunakan harakat tanwin pada kata Para ulama ahli tafsir seperti Thahir bin Asyur mengatakan ada dua kemungkinan makna yang terkandung.
Pertama, lit tanwi, yaitu ada ber bagai macam kerugian yang dialami manusia.
Kedua, Jit ta dzhim, yaitu sesungguhnya manusia dalam kerugian yang besar
Ada perbedaan pendapat para ulama tentang kata الإنسان: apakah yang dimaksudkan adalah orang kafir atau seluruh manusia Perbedaan ini tidak lepas dari perbedaan dalam penerapan kaidah bahasa Arab. Ayat selanjutnya diawali dengan alat istisna إلا )kecuali): apakah إلا itu istitsna muttashil atau istitsna munqathi? Seandainya pada ayat ini maksudnya adalah orang kafir, makna ayat menjadi kontradiktif atau berlawanan, kecuali إلا pada ayat selanjutnya adalah istitsna munqathi. Namun, hukum asal dari istitsna adalah istitsna muttashil.
Kesimpulan tentang adalah kata tersebut diawali dengan alif lam yang merupakan alif lam Al-istighraqiyyah yang bermakna seluruhnya hingga الإنسان mencakup seluruh manusia. Hal ini sesuai jika istitsna pada ayat selanjutnya adalah istitsna muttashil. Dengan demikian, manusia dalam hal ini mencakup orang kafir dan orang-orang beriman yang semuanya berada dalam kerugian, kecuali empat jenis manusia.
( إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ )
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 3)
Penjelasan Ayat
Berdasarkan ayat ini, ada empat sifat yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian.
Pertama, beriman. Iman adalah keyakinan terhadap hal-hal gaib. Iman mencakup seluruh perkara dalam syariat.
Nabi bersabda:
الإيمان بطبع وستكون أو بضع وسكون المحبة فَأَفضلُهَا قَوْل لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إماطة الأذى عن الطريق والحياة المغنة من الإيمان
“Iman itu ada 70 sekian cabang yang paling tinggi adalah kalimat laa ilaha illalah, yang paling rendah adalah menghilangkan gangguan dan jalan dan rasa malu merupakan bagian dan iman.” (HR Muslim No 51)
Ini menunjukkan bahwa cakupan iman sangatlah luas. Bahkan, para ulama menulis buku-buku tentang Syu’abul Iman (cabang-cabang keimanan) seperti Imam Al-Baihaqi dengan kitabnya Syu’abul Iman. Beliau mengumpulkan berbagai macam cabang keimanan. Makin banyak cabang keimanan seseorang, makin tinggi keimanannya. Sebaliknya, makin banyak yang hilang, makin kurang keimanannya.
Berdasarkan hadis ini pula, dapat disimpulkan bahwa iman mencakup amalan jawarih (perbuatan tubuh) semisal salat, amalan lisan semisal berzikir, dan amalan hati semisal, rasa malu. Akan tetapi, apabila disebutkan secara khusus, kebanyakan iman itu berkaitan dengan hal-hal gaib. Ada enam rukun iman dan kebanyakan isinya adalah hal gaib. Mengimani sesuatu yang gaib inilah yang menjadi pembeda orang mukmin dan orang kafir Seandainya perkara-perkara yang dituntut untuk diimani itu dapat dilihat, orang-orang kafir pasti akan beriman. Seandainya bentuk asli malaikat dapat dilihat, semua manusia niscaya akan beriman. Seandainya surga dan neraka ditampakkan secara langsung, seluruh manusia niscaya akan beriman.
Kedua, beramal saleh. Amal saleh merupakan bagian dari iman.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, iman mencakup seluruh perkara syariat dan amalan saleh termasuk di dalamnya. Namun, Allah mengkhususkan penyebutan amalan saleh karena amalan tersebut merupakan perkara penting yang harus diberi perhatian khusus. Bentuk-bentuk pengkhususan seperti ini dapat dijumpai dalam beberapa ayat, seperti firman Allah:
حفِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَوَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ ))
“Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Nabi mengkhususkan perintah menjaga salat Asar setelah sebelumnya diawali perintah menjaga salat lima waktu. Contoh lain, Allah berfirman dalam Alquran:
مَن كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَ بِكَتِهِ، وَرُسُلِهِ.
وَجِبْرِيلَ وَمِيكَلَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
“Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 98)
Allah menyebutkan secara khusus Malaikat Jibril dan Mikail. Padahal, sebelumnya telah disebutkan malaikat secara umum. Hal ini karena kedua malaikat tersebut merupakan malaikat yang penting. Demikian pula pada ayat ini. Allah mengkhususkan penyebutan amal saleh yang merupakan bagian dari iman sehingga harus diperhatikan secara khusus.
Para ulama telah menyimpulkan bahwa suatu amalan tidak dikatakan sebagai amalan yang saleh kecuali memenuhi dua persyaratan, yaitu di-kerjakan dengan ikhlas karena Allah dan amalan tersebut harus sesuai dengan sunah Nabi.
Seseorang yang melakukan amalan seperti menge-luarkan harta sebanyak-banyaknya atau berpuasa menahan lapar dan haus, tetapi niatnya bukan karena Allah karena ingin dipuji dan disanjung-sanjung. Allah tidak akan menerima amal tersebut.
Demikian juga ketika ia melakukan sebuah amalan dengan ikhlas tetapi tidak sesuai dengan yang diajarkan Nabi, amalan itu juga tidak diterima Allah.
Ketiga, saling menasihati dalam kebenaran. Ber-amar ma’ruf nahi mungkar sendiri merupakan bagian dari beramal saleh.
Artinya, amar ma’ruf nahi mungkar sepatutnya mendapat perhatian khusus di antara amalan saleh lainnya. Hal ini agar seseorang yang telah melakukan amalan saleh tidak lantas merasa selamat, padahal ia belum melakukan amar maruf nahi mungkar. Seorang muslim hendaknya melanjutkan amalannya dengan mengingatkan dan saling menasihati saudaranya jika telah melakukan sebuah amalan saleh.
Jika melihat saudaranya terjatuh dalam kesalahan, ia berusaha menegur, mengingatkan, dan mengajaknya kepada kebaikan. Itulah jalan keselamatan. Allah berfirman:
وَلتَكُن مِنكُمْ أَنه يَدْعُونَ إلى الخير ويأمرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُولَتِهِكَ هُمُ المعلمون )
“Dan hendaklah ada di antara kemer segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Allah juga memuji umat Islam sebagai umat yang selalu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Allah berfirman:
) كُنتُمْ خَيْر أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ …)
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkat, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran: 110)
Pada ayat ini, Allah menggunakan kata وصوا yang mempunyai wazan ( تفاعل) yang memiliki faedah saling atau yang mengerjakan adalah dua belah pihak, sebagaimana kalimat Tadhaaraba Zaldun wa Amrun yang artinya Zaid dan Amr saling memukul”. Maka, Allah memerintahkan umat-Nya agar saling menasihati, tidak hanya menasihati atau dinasihati.
BACA JUGA: 2 Surat yang Jadi Penyembuh Nabi Kala Sakit
Ironisnya, saat ini banyak kaum muslimin yang mulai enggan untuk menasihati saudaranya yang terjerumus dalam kesalahan. Padahal, seorang muslim yang telah melakukan kebaikan untuk dirinya dengan beramal saleh. ia hendaknya juga memperhatikan saudaranya dengan mengingatkannya jika keliru dan menegurnya jika salah.
Keempat, saling menasihati dalam kesabaran.
Di antara keistimewaan ayat ini adalah Allah menyebutkan bagian besar terlebih dahulu, yaitu beriman. Kemudian, di antara Iman itu, Allah mengkhususkan amalan saleh Lalu, di antara amalan saleh tersebut. Allah mengkhususkan saling menasihati dalam kebenaran.
Salah satu bentuk saling menasihati dalam kebenaran adalah saling menasihati dalam kesabaran. Allah memerintahkan sesama muslim untuk saling menasihati dalam kesabaran. Para ulama menyebutkan hikmahnya, yaitu jika seorang muslim saling menasihati dengan berdakwah, setelah itu ia harus bersabar.
Hal itu karena ia pasti mendapatkan gangguan dari orang yang tidak menyukainya, la dianggap telah menghalangi seseorang dari hawa nafsunya. Padahal, kebanyakan orang ingin mengikuti nafsu dan syahwatnya. Orang yang menghalanginya dari hal tersebut tentu akan membuatnya jengkel dan tidak senang. Oleh sebab itulah, dibutuhkan kesabaran untuk menghadapi gangguan dari mereka yang dinasihati. []
BERSAMBUNG
Sumber: Tafsir Juz ‘Amma / Penulis: DR. Firanda Andirja, Lc, MA. / Cetakan Kelima, Februari 2023
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: https://chat.whatsapp.com/CmhxXFTpO6t98yYERJBNTB
Instagram: https://www.instagram.com/humayro_media/
YouTube: https://www.youtube.com/@humayromedia
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61572918724311

