Malam telah merapatkan tirainya. Kota Madinah beristirahat dalam gelap, hanya bintang-bintang yang tersenyum di atas langitnya. Namun tidak semua manusia rebah dalam tidur panjang; ada seorang khalifah yang menolak berdiam di istana. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, lelaki yang kokoh di siang hari dan lembut di malam hari, melangkah menembus kesunyian.
Thalhah bin Ubaidillah, sahabat mulia, menyaksikan gerak itu. Penasaran menusuk hatinya, menuntun langkahnya untuk mengikuti Umar dalam diam. Dari kejauhan, ia melihat sang Amirul Mukminin memasuki sebuah rumah kecil, lalu keluar, menuju rumah lain yang tak kalah sederhana.
“Ke manakah tujuan pemimpin kaum muslimin ini?” batin Thalhah, keheranan membelit.
BACA JUGA: Kenapa Umar bin Khattab Halangi Rasulullah Shalati Jenazah Orang Ini?
Rasa ingin tahu kian menguat. Thalhah lalu memberanikan diri mendatangi salah satu rumah yang telah disinggahi Umar. Di sana, ia dapati seorang nenek renta, matanya buta, tubuhnya rapuh, dan hidupnya bersahaja.
Dengan lembut Thalhah bertanya, “Wahai ibu, siapakah lelaki yang kerap mengunjungi rumahmu itu?”
Senyum samar merekah di bibir nenek itu. Suaranya lirih namun penuh syukur, “Dia selalu datang kepadaku setiap beberapa waktu. Dia membersihkan rumahku, mengurus kebutuhanku, membawakan keperluanku, dan menghapus rasa sakitku.”
Thalhah terdiam. Kalimat itu menusuk jantungnya. Ia menyadari: lelaki yang dituturkan sang nenek itu adalah Umar bin Khattab, khalifah kaum muslimin. Seorang penguasa, yang di siang hari memimpin pasukan dan memutuskan perkara, sementara di malam hari menyapu lantai rumah seorang nenek buta, tanpa diketahui siapa pun.
Air mata menitik di hati Thalhah. Ia berbisik pada dirinya sendiri, penuh penyesalan, “Celakalah engkau wahai Thalhah, mengapa engkau berani memata-matai Umar?”
Demikianlah Umar, lelaki yang jika berjalan bumi bergetar karena wibawanya, namun jika malam tiba ia menunduk rendah, melayani manusia dengan tangan yang tak letih. Ia paham benar firman Allah: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan: 8).
Kebaikan baginya bukan sekadar kata, melainkan napas yang berdenyut setiap saat. Umar meneladani Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad).
BACA JUGA: Cara Umar bin Khattab Hilangkan Perasaan Sombong
Umar bin Khattab tahu, kekuasaan hanyalah amanah, dan seorang khalifah tak lain adalah pelayan umat. Malam-malamnya menjadi saksi bisu, bagaimana ia memanggul gandum untuk rakyat yang lapar, bagaimana ia bersujud memohon ampunan, dan bagaimana ia menghapus air mata orang-orang lemah.
Kisah Umar adalah cermin yang mengajak kita bercermin. Betapa jauh kita dari makna melayani. Betapa sering kita menuntut, namun jarang memberi. Sedang pemimpin besar itu, di puncak kejayaannya, memilih menyapu rumah seorang nenek buta tanpa ingin dikenal.
Umar mengajarkan, bahwa keagungan bukanlah di atas singgasana, melainkan di bawah kaki mereka yang dilayani. []
SUMBER:
Al-Bukhari, Adabul Mufrad, no. 295.
Ibnul Jauzi, Shifatush Shafwah, 1/277.
Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wan Nihāyah, 7/131.
Al-Qur’an Surat Al-Insan ayat 8.
HR. Ahmad (no. 23408), dishahihkan Al-Albani.
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: https://chat.whatsapp.com/CmhxXFTpO6t98yYERJBNTB
Instagram: https://www.instagram.com/humayro_media/
YouTube: https://www.youtube.com/@humayromedia
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61572918724311

