Pagi itu, selepas shalat Subuh di masjid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk menghadap para sahabat. Udara Madinah yang sejuk membuat suasana terasa tenang, namun mata para sahabat tak lepas dari wajah beliau yang penuh wibawa.
Beliau memandang satu per satu sahabat yang duduk melingkar, lalu bersabda, “Ketika seseorang sedang menggembalakan sapinya,” kata beliau, suaranya jelas dan tegas, “ia menaruh beban berat di punggung sapi itu. Tiba-tiba, sapi tersebut menoleh padanya dan berkata, ‘Aku tidak diciptakan untuk melakukan pekerjaan ini. Aku diciptakan untuk bercocok tanam.’”
Para sahabat saling memandang, sebagian terdengar bergumam. “Subhanallah, apakah sapi bisa berbicara?” ucap seorang sahabat dengan nada heran.
BACA JUGA: Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Model Penguasa Seperti apakah Dia?
Rasulullah tersenyum tipis, lalu menegaskan,
“Aku mengimani hal tersebut. Begitu juga Abu Bakar dan Umar.”
Ucapan itu seolah menjadi penegasan betapa tingginya keimanan Abu Bakar dan Umar. Rasulullah sendiri menempatkan keduanya sebagai tolok ukur keimanan yang benar.
Beberapa sahabat termenung, membayangkan bagaimana seekor sapi bisa berbicara, dan bagaimana keimanan bisa membuat hati mantap menerima kebenaran meski terdengar mustahil bagi logika.
Di sisi Rasulullah, Umar bin al-Khattab yang mendengar ucapan tersebut mengangguk pelan. Kemudian, di hadapan para sahabat, Umar berkata lantang, “Seandainya iman Abu Bakar ditimbang dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya iman Abu Bakar lebih berat dari mereka.”
Perkataan Umar membuat hadirin terdiam. Mereka tahu Umar adalah sosok yang tegas dan tidak sembarangan mengucapkan kata-kata. Jika ia mengatakan demikian, itu berarti kedudukan iman Abu Bakar memang luar biasa.
Di tempat lain, seorang tabi’in bernama Abu Bakar bin ‘Ayyasy pernah berkata kepada murid-muridnya, “Ketahuilah, Abu Bakar tidaklah mengungguli para sahabat lainnya dengan banyaknya shalat dan puasa. Akan tetapi dengan sesuatu yang terpatri dalam hatinya.”
Ucapan itu membekas di hati mereka. Betapa kemuliaan seorang hamba bukan semata karena banyaknya amal lahiriah, tetapi karena kemurnian hati yang penuh dengan iman, yakin, dan tawakal kepada Allah.
Kisah itu kemudian menyebar dari mulut ke mulut. Para sahabat yang mendengarnya dari Rasulullah menceritakannya kepada generasi setelah mereka. Lalu para tabi’in pun meriwayatkannya kepada murid-muridnya, sehingga pelajaran ini tetap hidup hingga kini.
Rasulullah tidak hanya mengajarkan bahwa mukjizat bisa terjadi pada makhluk selain manusia, tetapi juga bahwa keimanan yang benar mampu menerima kebenaran meskipun akal merasa heran.
BACA JUGA: Aisyah binti Abu Bakar dan Keutamaannya
Di antara lingkaran sahabat pagi itu, Abu Bakar ash-Shiddiq duduk dengan wajah teduh. Ia tidak merasa perlu membantah atau membenarkan dengan kata-kata. Baginya, iman adalah urusan hati yang langsung terkait dengan Rabb-nya. Ia hanya menunduk, membiarkan ucapan Rasulullah dan Umar menjadi saksi keimanannya.
Sungguh, betapa besar anugerah Allah kepada Abu Bakar. Ia bukan hanya sahabat terdekat Rasulullah, tetapi juga teladan dalam keyakinan yang tak tergoyahkan. Seorang lelaki yang hatinya dipenuhi cahaya iman, sehingga ia mengungguli banyak orang bukan dengan ibadah yang terlihat, melainkan dengan keyakinan yang tak terlihat, namun terasa berat di timbangan Allah. []
Referensi: Abu Jannah. Sya’ban 1438 H. Serial Khulafa Ar-Rasyidin, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jakarta: Pustaka Al-Inabah
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: https://chat.whatsapp.com/CmhxXFTpO6t98yYERJBNTB
Instagram: https://www.instagram.com/humayro_media/
YouTube: https://www.youtube.com/@humayromedia
Telegram : https://t.me/pusatstudiislam2
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61572918724311

